Monday, August 5, 2013

Atas Nama Demokrasi, Perlukah Mesir Bersimbah Darah?


http://images.detik.com/customthumb/2013/08/06/103/093915_ucup.jpg?w=460

Den Haag - Belum hilang dari ingatan kita dinamika penggulingan rezim Husni Mubarak pada 2011 lalu di Mesir, kini negara ini kembali bergejolak dan memaksa Presiden Mohammad Morsi digulingkan dari kursinya. Mesir membutuhkan 10.000 tahun hingga akhirnya memiliki Presiden pertama yang terpilih dari hasil demokrasi, dan ia akhirnya hanya bertahan selama 1 tahun saja. Atas nama demokrasi, seorang Mubarak turun dan seorang Morsi naik; lalu atas dasar ‘demokrasi’ pula Morsi harus pula turun.

Apa yang terjadi di Mesir adalah suatu bentuk pelecehan demokrasi di era modern seperti saat ini. Terlepas dari pro dan kontra kepemimpinan Morsi, mekanisme kudeta militer bukanlah sesuatu yang layak kita temui di dunia dewasa ini. Ketika memang ada ketidakpuasan dalam kepemimpinan seorang Presiden yang terpilih secara demokratis, maka mekanisme demokrasi seperti pemilu ulang atau pengembalian kekuasaan kepada konstitusi adalah jalan yang bijak.

Ironisnya, Amerika Serikat yang selama ini aktif kampanye demokrasi, justru mengatakan apa yang terjadi di Mesir bukan sebuah kudeta militer, sikap ini sangat berbeda dengan apa yang mereka katakan kepada pemerintah junta militer di Myanmar.

Kelompok Oposisi Mesir kemudian mengeluarkan beberapa dalih kenapa Morsi ‘pantas’ diturunkan. Kegagalan mengelola ekonomi dan distribusi kekuasaan hanya pada kelompok tertentu saja menjadi alasan. Ditambah dengan ‘hitung-hitungan’ baru bahwa Morsi hanya dipilih oleh 17% rakyat Mesir, angka ini muncul dari perbandingan jumlah pemilih Morsi dengan jumlah penduduk Mesir (memasukkan golput dan penduduk tidak punya hak pilih), jelas hitungan ini tidak relevan karena faktanya Morsi menang lebih dari 50% dalam pemilu yang diselenggarakan tahun lalu.

Waktu satu tahun rasanya juga terlalu cepat untuk menilai apakah sebuah pemerintahan sudah berjalan dengan baik atau belum. Apalagi bila mempertimbangkan bahwa Mesir kehilangan cukup banyak pemasukan karena diputusnya subsidi oleh beberapa negara dan juga baru dimulainya babak baru pembangunan Mesir yang demokratis.

Atas nama penyelamatakan bangsa, militer Mesir bertindak berlebihan hingga akhirnya mereka menggulingkan dan ‘menghilangkan’ Morsi. Demonstrasi pun silih berganti turun ke jalan, mereka yang kontra Morsi telah kembali ke rumah, sedangkan mereka yang pro Morsi kini memenuhi jalan-jalan di Kairo dan kota besar di Mesir. Namun, militer memiliki standar ganda, mereka justru melakukan tindakan represif dan bahkan hingga menuju tindakan ‘pembantaian rakyat sipil’.

Apa yang terjadi di Mesir adalah sebuah tragedi kemanusiaan di dunia modern, dan masyarakat dunia telah menjadi saksi dari tidakan biadab terhadap demonstran yang menuntut hadirnya demokrasi di bumi Mesir. Apa yang dilakukan oleh para demonstran merupakan perjuangan yang mereka yakini dapat membawa Mesir menjadi negara demokratis, modern, dan mandiri.

Masih teringat, dua tahun yang lalu, rakyat Mesir telah berkonsensus bahwa militer haruslah menepi dari pemerintahan dan proses demokrasi harus ditegakkan. Namun kini lagi-lagi atas nama demokrasi ada sebagian rakyat yang menistakan konsensus tersebut sehingga berujung pada sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa.

Negara-negara di dunia perlu bersikap tegas terhadap tragedi kemanusiaan di Mesir. Tidak hanya sebuah pernyataan sikap melainkan juga aksi nyata seperti lobi internasional, dukungan kemanusiaan dan penyebaran opini dukungan terhadap Mesir. Sebagai negara yang terkena dampak dari musim semi di Arab, Mesir sempat merasakan indahnya musim semi tersebut selama satu tahun terakhir, rakyat mesir bisa merasakan hidup dalam era demokrasi.

Namun kini, musim semi tersebut telah beralih menjadi musim panas yang “panas”-nya tak tertahankan hingga memakan korban jiwa. Atas nama demokrasi, dunia harus campur tangan demi penyelesaian konflik.

Dukungan kemanusiaan terhadap rakyat Mesir bukan berarti sebuah dukungan politik terhadap Mursi dan kelompok Ikhwanul Musliminnya, tetapi merupakan sebuah dukungan kemanusiaan universal yang menjadi tanggung jawab semua insan manusia. Mengutip pembukaan UUD 1945, "... bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Apa yang terjadi di Mesir adalah dua dimensi ‘penjajahan’; pertama, pendekatan senjata dari militer kepada rakyat sipil, dan kedua, besarnya intervensi asing dalam dinamika demokratisasi di Mesir. Melihat dinamika ini, saya mengangkat beberapa pesan kepada beberapa pihak. Pesan ini adalah pesan kemanusiaan kepada rakyat Mesir yang sedang mengupayakan kehadiran demokrasi di negeri tersebut.

Kepada Publik Umum, kepedulian kita kepada Mesir adalah bentuk simpati kemanusiaan yang sudah sewajarnya kita berikan. Transisi Mesir cukup serupa dengan apa yang dialami Indonesia pada 1998, Indonesia sangat beruntung karena militernya bisa bertindak bijak dan mengesampingkan tindakan represif. Untuk itu, kita perlu mendukung Mesir agar kembali pada jalur demokratisasi yang akan membawa negara ini menjadi negara yang berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Kita tentunya sepakat bahwa pendekatan senjata adalah tindakan yang tidak sesuai lagi di era modern saat ini, untuk itu segala bentuk represif dari militer kepada rakyat sipil perlulah di tolak dengan tegas.

Kepada Pemerintah Indonesia, perlu kembali mengingat bahwa politik negara kita adalah Politik Bebas aktif, bukan diplomasi sunyi yang kerap dilakukan seperti saat ini. Bebas dalam artian Indonesia tidak memihak kelompok tertentu di Mesir, melainkan memihak pada kemanusiaan. Aktif dalam artian Indonesia melakukan diplomasi secara aktif ke negara lain untuk menyerukan penghentian kudeta militer yang ternyata berdampak buruk kepada Mesir dan rakyatnya. Sikap tegas, dan kontribusi aktif adalah fitrah dari Indonesia yang di cita-citakan oleh para pendiri bangsa.

Kepada Dunia Internasional, dunia telah bersepakat tentang demokrasi dan kemanusiaan sebagai nilai yang diusung dalam era modern pasca perang dunia II, sehingga segala dukungan terhadap upaya demokratisasi dan kemanusiaan sangat diperlukan. Segala pelecehan terhadap demokrasi dan pengkhianatan kemanusiaan perlu ditentang dengan tegas. Apa yang terjadi di Mesir adalah kenyataan pahit bahwa sebuah negara yang sedang dalam proses transisi, kembali harus tercoreng sejarahnya karena sikap rezim militer yang tak bisa menahan diri.

Atas nama demokrasi, perlukah Mesir bersimbah darah? Padahal demokrasi mengajarkan kepada umat manusia tentang pentingnya adu gagasan, bukan penindasan bersenjata. Bukankah atas nama demokrasi dan kemanusiaan, rakyat sipil Mesir perlu ikut kita selamatkan, sebagaimana mereka pernah ikut menyelamatkan kita dengan pengakuan sebagai negara merdeka berdaulat di awal kemerdekaan ketika negara-negara lain masih melihat kita sebagai budak penjajahan?

Keterangan penulis:
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana pada International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam dan Sekretaris Jenderal PPI Belanda. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili lembaga.




sumber | wowunic.blogspot.com | http://news.detik.com/read/2013/08/06/092308/2324856/103/atas-nama-demokrasi-perlukah-mesir-bersimbah-darah?9911012

No comments:

Post a Comment