Melihat mal yang begitu besar tersebut, tentu saja kebanyakan orang berpikir bahwa mal itu akan dikerumuni oleh ramainya para pengunjung. Begitu juga dengan para pemilik mal. Saat pusat perbelanjaan itu dibangun, mereka berharap bahwa akan ada lebih dari 70.000 pengunjung dalam sehari.
Namun pada kenyataannya, hingga saat ini mal tersebut masih sepi dan 99 persen toko di mal itu belum terisi. Roller coaster sepanjang 553 meter yang terdapat di dalam dan luar mal juga sampai saat ini masih belum beroperasi.
Seperti dikutip Oddity Central, New South China Mall ini dibangun sejak 2005 oleh Hu Guirong. Beliau memulai proyek ini dengan sangat antusias dengan mengirimkan timnya pergi ke seluruh dunia untuk mencari ide membangun mal impiannya itu. Sebagian besar idenya tersebut diaplikasikan secara nyata dalam pembangunan mal yang memiliki tujuh area utama yang mewakili tujuh tempat di dunia.
Sayangnya, apa yang diharapkan Guirong tidak dapat terealisasi dengan baik. Menurut Dick Groves, seorang ritel konsultan, "New South China Mall gagal lepas landas karena minimnya pengalaman dalam bisnis leasing dan kurangnya sistem keuangan yang tidak sehat dan tidak disiplin." Selain itu juga dikarenakan kurangnya pemberitahuan kepada calon pembeli atau penyewa mengenai keuntungan ketika mereka menempatkan investasi mereka di mal tersebut.
"Ketika mendapatkan pembiayaan terasa mudah tanpa harus meyakini seseorang mengenai kelayakan proyek, dan tanpa harus menunjukan komitmen setelah leasing, anda bisa mulai mendapat masalah," tambah Groves.
Kegagalan New South China Mall tentu saja telah mengejutkan banyak orang. Semua kerja keras dan uang yang sudah dikeluarkan menjadi terbuang sia-sia.
Menariknya fenomena mal terbesar ini, membuat Sam Green, seorang filmaker asal Amerika, membuat film dokumenter seputar mal yang berjudul 'Utopia Part 3: the World's Largest Shopping Mall.'
No comments:
Post a Comment